Valuation itself is probably the last thing we factor into our decision. Some of our very best shorts have been cheap or value stocks. We look more at the business to see if there is something structurally wrong or about to go wrong, and enter the valuation last. – Jim Chanos
Salah satu contoh yang bisa menjadi value trap adalah perusahaan batubara di Indonesia.
Berikut perbandingan beberapa indikator valuasi tahun 2013 dan 2015 (maaf data terbatas, subscription stockbit habis belum perpanjang :hammer)

Bisa dilihat pada table diatas, pada tahun 2013 saham-saham perusahaan batubara sudah termasuk murah dan cukup atraktif dengan DER yang juga rendah dan Current/Quick ratio yang tinggi dan semuanya membagi dividend dengan yield yang atraktif. Tapi bisa dilihat pada chart dibawah bagaiamana performa harga sahamnya sejak 2013.

Kelima saham perusahaan batubara itu terus turun sampe 70-90% sejak 2013.
Lalu perusahaan apa aja sih yang bisa masuk ke dalam value trap? Menurut Jim Chanos, founder hedge fund Kynikos yang spesialisasinya adalah short-selling ada 6 karakteristik perusahaan yang bisa masuk ke dalam value trap.
- Predictable, consistent cash flow
- Defensive and/or defensible business
- Not dependent on superior management
- Low/reasonable valuation
- Margin of safety using many metrics
- Reliable, transparent financial statements
Wait, 6 karakterisitik itu kayaknya sama kalo kita mau mencari perusahaan dengan value yang baik. Iya benar, karena untuk menjadi value trap, perusahaan itu harus “terlihat” mempunyai value yang baik dan murah juga. Jadi ibaratnya jika kita menemukan perusahaan yang punya value yang baik dan murah kita harus re-check lagi dengan 5 hal di bawah.
- Cyclical and/or overly dependent on one product
- Hindsight drives expectations
- Appears cheap using management’s metric & accounting issues
- Reliance on a super national put
- Marquis management and/or famous investor(s)
Berikut penjelasan poin-poin di atas.
Perusahaan batubara terlihat mempunyai value yang baik dan sangat murah tapi mereka sangat cyclical dan terpengaruh dengan harga komoditas, juga hanya menjual batubara (beberapa mulai mendiversifikasi ke pembangkit listrik tetapi ini juga bisa menjadi masalah, akan dibahas selanjutnya).
Beberapa perusahaan yang juga menjadi value trap biasanya “terjebak masa lalu”, mereka dulu punya bisnis yang sangat baik dan ketika trend berganti, teknologi berkembang, mereka ga mau mengakui kalo mereka tertinggal dan sudah kuno dan yakin bisnisnya akan kembali cerah lagi. Salah satu contohnya adalah Kodak. (Batubara mungkin bisa jadi juga)
Ini agak sulit sih, soalnya kebanyakan investor retail ya hanya bergantung dengan laporan keuangan dan kalo pun bertanya di public expose, kalo manajemen emang mau nakal pasti bisa menjawab dengan baik. Intinya, jika menemukan “keanehan” di laporan keuangan harus mulai waspada.
Terlalu bergantung pada pemerintah atau pada permintaan atas dasar nasionalisme.
Sebelum membahas point keempat, no offense ya, mungkin bisa pake cerita Pak Lo Kheng Hong (LKH) dengan saham PTRO. Sejak berita ini terbit “Lo Keng Hong; Saya baru mengoleksi saham PTRO” pada Januari 2014, PTRO sudah turun 78% sampai saat ini. Pada saat itu PTRO memang terlihat punya value yang bagus dan murah, dan saya juga sempat memiliki. 😛 Jadi, jadi ketika ada saham dengan value yang baik terus mendengar investor terkenal masuk lalu yakin itu pasti bagus, selalu re-check lagi dengan dua point diatas.
Ini tambahan karena saya melihat di stockbit ada diskusi kenapa perusahaan batubara belum banyak yang mendiversifikasi bisnisnya dan emiten yang punya cash sangat banyak (cash per share = price).
Kenapa diversifikasi dan punya cash banyak bisa jadi value trap? Pertama, investor tergoda dengan perusahaan yang cash holdingnya besar (anggap DER rendah) tetapi bisnisnya menurun dan menganggap perusahaan bisa menjadi penghasil kas buat investor via dividend, tapi kebanyakan perusahaan seperti ini pada akhirnya bisnisnya menurun lebih cepat daripada kemampuannya menghasilkan tambahan kas. Lalu kebanyakan perusahaan seperti ini malah menggunakan sebagian besar kasnya untuk mendiversifikasi/berekspansi daripada membagi dividend, dan biasanya karena manajemen mungkin tertekan dan hanya ingin terlihat bisa menyelamatkan perusahaan jadinya diversifikasi dan ekspansi ini hasilnya malah membuat kondisi perusahaan semakin buruk.
Lalu bagaimana kita menghindari value trap?
- Liat bisnisnya dulu baru valuasinya
- Waspada dengan perusahaan yang tumbuh atau jatuh terlalu cepat (harga sahamnya, earning ataupun aset)
Beberapa artikel buat tambahan: